Kami tak perlu memulai untuk sebuah janji. Kami hanya
perlu mengakhiri dengan pasti. Entah apa rencana dari - Nya yang maha kasih
maha segalanya yang mengatur tanpa kita tahu alur cerita dari setiap
skenarionya. Terkadang, menyesalinya di akhir untuk rencana manis tanpa sambut
hangat kita. Tapi kini aku harus mulai mengerti untuk sebuah jalan cerita baru
hidupku dan masa depanku.
∞
Ini janji yang kesekian kalinya setelah resmi menjadi
suami Anna. Gadis itu sudi aku nikahi hanya dengan mahar yang sederhana,
seperangkat alat sholat, hanya itu, tanpa cincin kawin atau uang tunai.
Malam ini aku akan mengajakmu makan malam di cafe
favoritmu yang tempo hari kau ceritakan karena cokelat panasnya begitu enak.
Aku gajian hari ini. Tak perlu khawatir sayang aku tak akan lembur lagi. Tunggu
aku tepat pukul 7 di taman cafe. Love you – suamimu.
Pesan panjang itu segera kukirimkan pada
Anna setelah aku terima gaji pertamaku sebagai karyawan tetap perusahaan property
ini. meskipun hanya sebagai bawahan, Anna tak pernah mempermasalahkannya.
Lembur dan lembur itulah malamku. Setelah kami menikah November lalu, mungkin
malam ini adalah makan malam pertamaku dengannya, istriku Anna.
“ mas, aku sudah menunggumu di meja nomor 7. Mas sekarang
dimana? “
“ masih di kantor, bukankah ini masih jam 6 sayang? “
“
tak apalah mas, aku sangat senang malam ini kita bisa makan malam bersama, ya
aku dan mas bisa makan malam, hal yang langka bukan?” Anna tertawa lepas
“ mas akan segera kesana sayang“ tuttututttt, tak
terdengar lagi jawaban dari seberang sana. Telpon dari Anna terpaksa aku
matikan. Pekerjaan ini harus segera kuselesaikan sebelum pukul 7 malam. Sore tadi,
atasanku tiba – tiba membawakan setumpuk dokumen baru untuk segera aku kerjakan
sebagai bahan meeting besok untuk proyek besar pertamaku. Ini sungguh
kesempatan besar. Atasan mempercayakan aku sebagai ketua proyek itu, dan jika
aku sukses tentu jabatanku akan naik sebagai kepala staff dan Anna pasti senang
akan hal itu. Aku tak ingin malam ini Anna kecewa.
Kupandangi foto pernikahan kami di sudut meja kerjaku.
Pernikahan yang sangat sederhana. Anna tampak anggun dan cantik meskipun hanya
dengan riasan make – up tipis dan kebaya putih yang sederhana. Dan ini
yang membuat dia tampak begitu manis, yang membuat aku terpikat sejak awal,
Anna cantik dengan jilbabnya. Dan disamping Anna adalah aku. Setelan jas
pinjaman berwarna hitam. Jas yang aku pinjam hanya 1 jam sebelum akad nikah.
Aku nampak gagah dengan peci hitam, itu kata Anna.
Masih ingat betul pernikahan itu hanya sederhana dan
sangat sederhana. Tanpa adanya resepsi mewah, bahkan tenda biru di luar pagar
rumah pu tak ada. Hanya ijab kabul nan sakral di masjid dekat rumah Anna dan
setelah itu sungkeman. Acara selesai. Hanya keluarga dan kerabat dekat saja.
Bukan karena kami tak ada teman atau relasi. Tapi itulah yang bisa kuberikan
pada Anna, tanpa dia pernah mengeluh dengan hal ini.
∞
18.
40. Ada waktu 20 menit lagi untuk menemui Anna. Tapi bagaimana dengan pekerjaan
ini? Perusahaan yang akan menjadi rekan bisnis menginginkan meeting pukul 8 pagi dan dokumen ini masih beberapa bendel
yang harus kukerjakan dan kupelajari. Aku sudah janji dengan Anna. Tapi ini semua
juga untuk dia dan masa depanku. Mencoba mengirimkan sms bahwa aku harus
terlambat paling tidak 10 menit pun tak mungkin. Hpku mati tanpa aku sadari dan
lupa menchargernya karena terlalu sibuk dengan lembaran dokumun – dokumen
penting itu. Sial. Aku tak pernah membawa charger ke kantor. Terpaksa menelpon
Anna dengan telpon kantor. Sialnya telpon yang ada di mejaku hanya untuk telpon
area kantor saja. Maklumlah aku hanya bawahan. Fasilitaspun terbatas.
Jemariku
terus kupaksakan bekerja, ini baru 18.50. 10 menit lagi untuk bertemu Anna.
Masih ada 2 dokumen penting lagi yang harus kubaca sekarang juga. 5 menit juga
selesai. aku tak mungkin membacanya di rumah. Terlalu sakit bagi Anna yang
hanya punya waktu 4 jam bersamaku, sedangkan 20 jam yang lain kuhabiskan di
kantor dan kantor. Setidaknya di rumah aku harus mampu memanjakannya.
Memperlakukan dia layaknya istriku. Rumah bukan tempat untuk bekerja, tapi
untuk aku dan istriku.
Jauh
dari yang kuduga. Dokumen ini perlu revisi ulang. Sontak jemari tanganku mulai
mengetiknya ulang. Memperhatikan naskah perjanjian bisnis itu tidak salah lagi
dengan beberapa bab penting yang perlu direvisi kembali. Lupa aku melihat jam,
bahkan seolah tak peduli lagi dengannya. Hanya meeting besok yang kupikirkan.
Akankah berhasil atau tidak untuk proyek besarku ini. proyek yang akan
membuatku naik jabatan, bukan hanya menjadi kepala staff bahkan direktur pun
aku bisa.
∞
Wanita
dengan gaun merah marun itu mulai cemas melirik jamnya. Jilbabnya dengan warna
senada melambai – lambai oleh angin malam. HP sepi tanpa ada pesan masuk. Pelayan
cafe menyuruhnya masuk ke dalam karena
udara di taman cafe tak begitu bagus untuknya. Anginnya terlalu kencang. Maklum
ini bulan Desember. Musim penghujan.
“
sebaiknya mbak masuk ke dalam saja, Ande akan membuatkan cokelat panas favorit
mbak “
“
terima kasih Ule, tapi orang yang membuat janji denganku menyuruhku untuk
menunggunya disini, di taman cafemu “
“
tapi anginnya sedang tak bersahabat mbak An, sebaiknya masuk saja”
“ tidak Ule, aku harus patuh padanya, aku juga
sudah berjanji untuk menunggunya disini samapi dia datang”
“
Ule perhatikan mbak An sudah ada disini sejak pukul 6 sore tadi, dan sekarang
sudah pukul 8 malam, mbak An menunggu siapa? “
“
seseorang. Seseorang yang berjanji Ule. Berjanji di pukul 7”
“ pukul
7 dan sekarang pukul 8. Mbak An sudah disini 2 jam lamanya, menunggu tanpa
memesan apapun, tidak kangen dengan cokelat panasku Dan Ande? Masih mau
menunggu orang yang sudah telat 1 jam itu mbak? “ pria itu tertawa puas.
“
mungkin sebentar lagi akan hujan mbak, sebaiknya mbak masuk saja kalau hujan,
dan cokelat panas siap menunggumu, spesial untuk pelanggan kami, mbak Anna “ Dan wanita itu hanya mengangguk tersenyum
membalasnya. Anggun. Dilihat ponsel. Nihil. Tak ada balasan. Dan jam itu
perlahan berganti detik demi detik, menit demi menit dan jam .
∞
Aku
lupa melirik jam. Astagfirullah. Sudah jam 9 malam. Bergegas dokumen yang
selesai aku print ulang dan baca kembali untuk memastikan tak ada lagi yang
salah, tertulis dengan benar dan tak merugikan antar pihak kujadikan satu.
Memasukkannya ke dalam tas kantorku.
Sepeda motor tua itu kupaksa melaju dengan kencangnya. Sesekali asap knalpotnya
mengepul membuat para pengguna jalan yang lain protes. Tapi aku tak peduli.
Istriku sudah menungguku disana. Di cafe yang aku janjikan.
Perjalanan
kantor ke cafe butuh waktu hanya 10 menit. Hujan deras sudah datang, dan
sialnya jalanan menjadi macet total. Perjalanan 10 menit itu menjadi 10 kali
lipat menjadi lebih lama. Anna, masihkah kau disana sayang? Masihkah kau
menungguku di taman cafe itu? masihkah? Apa kau sudah pulang dan kecewa aku
telat datang 2 jam lebih? Akankah kau memaafkanku Anna? Pertanyaan itu seketika
menari – nari di fikiranku dibawah derasnya hujan malam itu.
Sampai
juga di cafe yang aku janjikan pada istriku. Tapi, dimana dia Anna? Cafe sudah
sepi. Hanya menyisakan 2 pelayan muda disana.
“
mas maaf, apa tadi ada seorang wanita yang menunggu disini, tepatnya di taman
cafe no. 7” dengan nada tersengal – sengal aku bertanya pada salah satu pemuda
itu.
“
mbak Annakah yang mas maksud? “. Pelayan itu menjawab dengan nada antusias.
“
ya, Anna namanya, dia istriku. Apakah dia sudah pulang? “
“ oh
mas ini pasti mas Bima. Mas dari mana saja, mbak Anna sudah menunggu mas sejak
jam 6 tadi dan mas tahu, mbak Anna sakit mas, sakit, teman – teman yang membawa
mbak Anna ke rumah sakit tadi” pelayan itu nadanya meninggi. Namapaknya dia
kenal dengan Anna.
“
Anna sakit? Sakit apa dan sekarang dimana? “ kaget bukan main setelah mendengar
kabar itu. Anna istriku sakit tanpa aku tahu.
Setelah
pelayan itu memberi alamat dimana Anna dirawat, motor tuaku kupaksakan untuk
melaju di ramainya kota malam itu. Derasnya hujan sempurna sudah menutupi
tangisanku.
∞
To
be continue......
Komentar
Posting Komentar